Nilai-Nilai Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal
Indonesia merupakan negara kepulauan multi etnis yang memiliki kekayaan budaya serta kearifan lokal dari setiap suku atau etnis yang ada. Pusat Studi Pancasila UGM bersama PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) pada tahun 2012 melakukan pengkajian terhadap nilai-nilai kepemimpinan berbasis kearifan lokal. Riset yang dilakukan dalam waktu 8 (delapan) minggu tersebut menggunakan metode etnografi. Metode etnografi dianggap sebagai metode yang cocok untuk memahami masyarakat yang bersifat multikultural. Yang termasuk dalam tim ini adalah para alumnus UGM dari berbagai latar yakni Arkeologi, Filsafat, Ilmu Budaya, Psikologi, dan Bahasa Indonesia. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia masyarakat secara timbal balik. Cara pengumpulan data dalam pengkajian Etnografi dapat dilakukan dengan survei lapangan maupun studi pustaka (desk research). Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka karena keterbatasan waktu serta telah tersedianya berbagai publikasi dan sumber-sumber literasi yang dapat dijadikan bahan pengkajian. Analisis dilakukan secara kualitatif, dengan cara pengumpulan sebanyak mungkin fakta secara detail dan mendalam mengenai satu hal atau gejala sosial guna mendapatkan pengertian tentang sebanyak mungkin sifat dari gejala itu. Dimensi-dimensi kepemimpinan yang diamati antara lain: status dan peranan, kekuasaan, pengaruh dan otoritas, personalitas, fungsi, nilai-nilai sosio-kultural dan situasi. Pengkajian dilakukan terhadap sebelas suku terbesar di Indonesia yaitu Jawa, Sunda, Batak (Karo), Kal-Teng (Dayak), Minahasa, Bali, Bugis, Ambon, Pantai Utara Papua, Melayu, dan Sumba. Berdasarkan analisis terhadap unsur-unsur ketuhanan, manusia, dan alam, serta dimensi-dimensi kepempimpinan di atas, diperoleh kesimpulan bahwa dalam setiap suku di atas terdapat konsepsi tentang ketuhanan. Konsepsi tentang hubungan dengan sesama manusia juga terdapat dalam setiap suku, namun secara lebih mendetail persepsi tubuh-jiwa, bahasa dan tatanan, etikamoral, pencaharian-ekonomi, berbeda-beda dalam setiap suku. Demikian juga dalam hal konsepsi tentang alam, semua suku di atas memilikinya, namun tidak semua memiliki upaya pelestarian alam di dalam sistem kearifan lokalnya. Dari sisi kepemimpinan, semua suku memiliki konsepsi kepemimpinan, serta mayoritas mengakui keberadaan etika moral serta keluhuran budi sebagai penerapan konsep kepemimpinan. Berikut ini beberapa contoh kearifan lokal dari sebelas suku yang dikaji dalam “Pengkajian Nilai-nilai Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal” oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk
Ambon
Sistem kekerabatan masyarakat Ambon adalah patrilineal dengan pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan yang sangat penting ini disebut matarumerah atau fam, yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Matarumah merupakan kesatuan dari laki-laki dan perempuan yang belum menikah dan para istri dari laki-laki yang telah menikah. Oleh karena itu, matarumah merupakan satuan kecil dari sistem patrilineal. Selain itu, terdapat beberapa jabatan pengurus desa, yaitu kepala desa (raja) dan kepala bagian desa (kepala soa). Lainnya, terdapat ahli adat mengenai hukum tanah dan soal-soal warisan tanah (tuan tanah), seorang pejabat ada yang dulu merupakan panglima perang (kapitan), polisi kehutanan (kewang) dan penyiar berita desa (marinjo). Semua pejabat pemerintahan desa tersebut tergantung dalam suatu dewan desa, bernama badan saniri negeri. Raja mendapat kedudukannya atas dasar keturunan atau karena kependudukannya dalam klan yang secara adat berhak memegang pimpinan. Namun demikian, jabatan raja memang sering merupakan suatu jabatan adat saja, sedangkan pemerintahan desa yang sesungguhnya dijalankan oleh kepala bagian desa secara bergilir. Sementara itu, desa-desa Maluku yang memeluk agama Islam seperti di Kailolo menghormati seorang haji sebagai pemuka agama yang disegani. Pemimpin agama seperti imam, khotib, modin, dan saras tersebut disahkan oleh sandiri negeri. Pemimpin di bidang lain seperti politik dan pendidikan juga berkembang di daerah Maluku, terutama di daerah Ambon.
Bali
Di Bali dikenal adanya Tri Hita Karana. “Tri” berarti tiga, “Hita” berarti kebahagiaan dan “Karana” berarti penyebab. Dengan demikian secara harafiah Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kebahagiaan.
Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan tersebut adalah hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam sekitar, yang saling terkait satu sama lain.
Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek di sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup terhindari dari segala tindakan buruk. Karena itu pada dasarnya Tri Hita Karana mendorong harmonisasi antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama dan alam. Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme.
Jawa
Dalam kebudayaan Jawa dikenal delapan sifat unggul seorang pemimpin menurut ajaran Asta Brata. Konon, astra brata adalah fatwa terhadap putra mahkota yang akan dinobatkan menjadi raja-raja Jawa. Astra Brata yang terdiri dari kata asta yang berarti delapan, dan brata yang berarti sifat baik. Dalam berbagai literatur disebutkan delapan sifat alam ini mewakili simbol kearifan dan kebesaran Sang Pencipta. Kedelapan sifat alam tersebut adalah: matahari (surya), bumi (bawana), bulan (candra), bintang (kartika), air (tirta), angin (maruta), api (dahana),dan samudera (samodra).Masing-masing sifat alam tersebut adalah sifat unggul seorang pemimpin sejati, seperti diuraikan berikut ini:
Sunda
Dalam kebudayaan Sunda seperti termaktub dalam kitab Sanghyang Siksakandang Karesian terdapat sepuluh pedoman atau tuntutan yang harus dimiliki serta dilaksanakan oleh seorang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Dasa Prasanta. Sepuluh pedoman tersebut terdiri dari:
- Guna (bijaksana), dimana perintah yang diberikan oleh seorang pemimpin dipahami manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
- Ramah bertindak seperti orang tua yang bijak dan ramah/bestari. Keramahan seorang pemimpin akan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja dan beraktivitas. Keramahan ini juga menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan.
- Hook (sayang atau kagum), perintah seorang pemimpin dianggap sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang diperintahnya.
- Pesok (memikat hati atau reueus/bangga), seorang pemimpin harus mampu memikat hati bahwahannya serta merupakan ‘kareueus’ kebanggaan juga bagi bawahannya. Perintah yang disampaikan oleh seorang pemimpin disampaikan dengan cara yang menimbulkan kebanggaan bagi anak buahnya. Dengan demikian akan mendorong kepercayaan bawahan yang diperintah.
- Asih (kasih sayang, cinta kasih, iba), perintah pemimpin harus dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.
- Karunya (iba/sayang, belas kasih), hampir sama dengan asih, namun dalam karunya perintah pemimpin harus terasa sebagai suatu kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya.
- Mupreruk (membujuk dan menentramkan hati), seorang pemimpin seyogyanya mampu membujuk dan menentramkan hati yang dipimpinnya dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya.
- Ngulas (memuji, mengoreksi), seorang pemimpin tidak ada salahnya memuji pekerjaan atau keberhasilan yang dipimpinnya sebagai penghargaan dan pendorong ke arah yang lebih baik.
- Nyecep (membesarkan hati), bisa juga diartikan memberi perhatian berupa dukungan moril walau hanya ucapan terima kasih atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati juga di kala yang dipimpinnya mendapat musibah atau tidak berhasil dalam suatu pekerjaan.
- Ngala angen (mengambil hati, menarik hati), seorang pemimpin mampu menarik hati dan simpati bawahannya sehingga tersambung ikatan silaturahim yang harmonis.
Selain karakter baik, ada juga empat karakter negatif yang harus dihindari dan dijauhi seorang pemimpin. Keempat karakter negatif tersebut dalam Sanghyang Siksakandang Karesian disebut sebagai ‘opat paharaman’ atau empat hal yang diharamkan, yaitu: 1. Babarian atau mudah tersinggung. Pemimpin yang demikian berpikiran sempit, arogan, cepat marah dan selalu ingin menang sendiri serta mudah dipengaruhi orang lain. 2. Pundungan atau mudah merajuk. Pemimpin yang demikian akan kehilangan kesempatan dalam segala hal, karena tidak bisa bekerja sama. 3. Humandeuar atau berkeluh kesah. Pemimpin yang berperangai seperti ini akan kehilangan etos kerja, tidak disenangi dan tidak bisa bekerja sama. 4. Kukulutus atau menggerutu. Pemimpin yang demikian menandakan berkarakter rendah, karena selalu berpikir negatif, tidak bertanggung jawab.
Batak (Karo)
Dalam stratifikasi sosial, orang Batak membedakan stratifikasi sosial dalam tiga hal, yaitu: perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian, dan status kawin. Pada sistem pelapisan sosial yang berdasarkan perbedaan umur tampak perbedaannya dalam hak dan kewajiban, terutama dalam upacara adat. Dalam hal menentukan upacara adat atau dalam hal urusan kekerabatan, hanya para orang-orang tua (tua-tua) yang berhak mengajukan saran-saran dan mengambil keputusan. Para orang setengah usia (kalak singuda) hanya dapat menjadi pelaksana. Sedangkan mereka yang masih anak-anak dan pemuda-pemuda (danak-danak) tidak diperhitungkan. Bahkan kalau danak-danak menjadi ahli waris, harus diwakili oleh ibu mereka. Sistem pelapisan sosial yang berdasarkan pangkat dan jabatan tampak dalam kehidupan sehari-hari. Lapisan yang paling tinggi adalah lapisan bangsawan, keturunan raja, dan kepala wilayah, lapisan ini disebut lapisan biak raja. Lapisan di bawahnya adalah lapisan yang disebut ginemgem (Karo), yaitu lapisan diduduki oleh jabatan-jabatan yang dipandang lebih terhormat dari yang lainnya sehingga orang yang menjabat juga dipandang menduduki lapisan elit dari rakyat. Lapisan ini diduduki oleh dukun, tukang yang membuat keahlian (pandai besi, pandai emas, tukang kayu, dan sebagainya), pemukul alat bunyi-bunyian dan penyanyi (panarune dalam bahasa Karo, pargonci dalam bahasa Toba). Orang-orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, yang di kalangan orang Karo disebut si erjabaten dahulu sering dianggap mempunyai kekuatan sakti. Sistem pelapisan sosial yang berdasarkan sifat keaslian tampak dalam perbedaan antara orang merga taneh atau golongan para pendiri kuta (suatu kesatuan teritorial yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu klan) dengan keturunan dari penduduk.
TB Silalahi Center, Museum Batak, Sumatera Utara kuta yang datang kemudian. Para marga taneh mempunyai hak terlebih dahulu jika ada perselisihan mengenai tanah dan sebagainya dan juga dalam hak menempati jabatanjabatan pimpinan desa. Kepemimpinan di dalam masyarakat Batak Karo dibedakan menjadi tiga hal, yaitu kepemimpinan di bidang adat, kepemimpinan di bidang pemerintahan, dan kepemimpinan di bidang keagamaan. Kepemimpinan di bidang adat meliputi persoalan-persoalan perkawinan, perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran, dsb. Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan satu tokoh melainkan merupakan suatu masyarakat sangkep sitelu. Dalam kehidupan masyarakat orang Batak ada suatu hubungan yang mantap antara kelompokkelompok kerabat dari seorang dengan kelompok kerabat tempat istrinya berasal dan dengan kelompok kerabat dari suami adik perempuannya. Kelompok pertama disebut kalimbubu, atau kelompok pemberi gadis, kelompok kedua disebut anak beru atau kelompok penerima gadis. Sedangkan kelompoknya sendiri (kelompok kerabat sendiri).
disebut senina. Hubungan antara kalimbubu, anak beru, dan senina tersebut disebut sangkep sitelu. Dalam pelaksanaan musyawarah adat ini, sidang (runggun) dipimpin oleh anak beru-tua-jabu (ketua anak beru). Kepemimpinan dalam pemerintahan dipegang oleh salah seorang dari turunan tertua dari marga maneh. Kepala kuta disebut dengan pengulu, kepala urung disebut dengan raja urung, untuk bagian kerajaan disebut sibayak. Kedudukan tersebut merupakan jabatan turun-temurun dan yang berhak adalah anak laki-laki tertua (sintua) atau bungsu (singuda). Anak laki-laki lain (sitengah) tidak mempunyai hak untuk menggantikan jabatan pimpinan kecuali kedua anak laki-laki tertua atau termuda tidak ada lagi atau tidak mampu. Selain menjalankan pemerintahan sehari-hari, kepala dalam pemerintahan itu juga melakukan tugas peradilan, yaitu pengulu mengetuai sidang di bale kuta, dan raja urung mengetuai bale urun. Pengadilan tertinggi adalah bale raja berompat yang merupakan sidang kelima sibayak yang ada di tanah Karo. Kepemimpinan ini terdapat sebelum tahun 1946.
Bugis (Makasar)
Sebelum Belanda menguasai langsung daerah Sulawesi Selatan, terdapat tiga penggolongan pelapisan sosial di Sulawesi Selatan. Pelapisan itu adalah Anakarung (ana’ karaeng dalam bahasa Makasar) ialah lapisan kaum kerabat raja, to-maradeka (tu maradeki dalam bahasa Makasar) ialah lapisan orang merdeka yangmerupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan, dan ata, ialah lapisan orang budak, yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar utang, atau orang yang melanggar pantangan adat. Orang Bugis-Makasar terutama yang hidup di luar kota, dalam kehidupannya sehari-hari masih banyak terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral, yang keseluruhannya mereka sebut dengan panngaderreng (panngaakkang dalam bahasa Makasar). Sistem adat keramat pada Bugis-Makasar ini berdasarkan pada 5 unsur pokok yaitu: Ade’ (ade’ dalam bahasa Makasar), bicara, rapang, wari’, dan sara’. Unsur keramat tersebut terjalin satu sama lain sebagai suatu kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis-Makasar, yang memberi rasa sentimen kewarganegaraan masyarakat dan identitas sosial kepadanya. Unsur itu juga merupakan martabat dan harga diri yang terkandung semuanya dalam konsep siri’. Ade’ adalah unsur bagian dari panngaderreng yang secara khusus terdiri lagi dari ade’ akkalabinengeng atau norma mengenai hal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturanaturan mengenai hak dan kewajiban rumah tangga, etika dalam hal berumah-tangga, dan sopan santun pergaulan antara kaum kerabat. Selain ade’ akkalabinengeng, terdapat pula ade’ tamu atau norma-norma mengenai hal bernegara dan memerintah negara dan berwujud sebagai hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan pembinaan insan politik. Pengawasan dan pembinaan ade’ dalam masyarakat orang Bugis biasanya dilaksanakan oleh beberapa pejabat adat seperti pakka-tenni ade’, puang ade’, pampawa ade’, dan parewa ade’. Bicara adalah unsur bagian dari panngadereng yang menyangkut mengenai semua aktivitas dan konsep yang berkaitan dengan peradilan. Kurang lebih sama dengan hukum acara, menentukan prosedurnya, serta hak-hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan kasusnya di muka pengadilan atau yang mengajukan penggugatan. Rapang berarti contoh, perumpamaan, kias, atau analogi sebagai bagian dari unsur panngaderreng. Rapang menjaga kepastian dan kontinuitas dari suatu keputusan hukum tidak tertulis dalam masa lampau hingga sekarang, dengan membuat analogi antara kasus yang terjadi pada masa lampau dengan kasus yang ada pada masa kini. Rapang juga berwujud sebagai perumpamaan-perumpamaan yang menganjurkan kekuatan.
ideal dan etika dalam lapangan-lapangan hidup yang tertentu, seperti kekerabatan, berpolitik dan memerintah negara, dan sebagainya. Selain itu, rapang juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap keamanan seorang warga masyarakat. Wari’ adalah unsur bagian dari panngaderreng yang melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan aktivitasnya dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat, untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial, untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja di negara lain sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda dalam tata upacara kebesaran. Sara’ adalah unsur bagian dari panngaderreng yang mengandung pranata-pranata dan hukum Islam dan yang melengkapkan keempat unsurnya menjadi lima. Konsep siri’ mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng.
Isi tanggapan anda